Imam Ahmad bin Hanbal adalah pendiri mazhab Hambali.
REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD — Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama dan intelektual Muslim terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Umat Islam di Indonesia biasa menyebutnya Imam Hambali. Sosok ahli fikih pendiri Mazhab Hambali itu begitu populer dan legendaris. Namun, ulama yang hafal satu juta hadis dan selalu tampil bersahaja itu tak pernah ingin apalagi merasa dirinya terkenal.
“Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas,” tutur sang Imam. Ia juga dikenal sebagai ulama yang berotak brilian. Kecerdasannya diakui para ulama besar di zamannya. Penulis sederet kitab penting bagi umat Islam itu juga dikenal sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi, saleh, dan berakhlak mulia.
Kemuliaan yang ada dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal telah membuat guru-gurunya kagum dan bangga. “Setelah saya keluar dari Baghdad, tak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih saleh, dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hanbal,” ujar Imam Syafi’i, sang guru. Imam Syafi’i menjuluki muridnya itu sebagai imam dalam delapan bidang.
“Ahmad bin Hanbal adalah Imam dalam hadis, Imam dalam fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Alquran, Imam dalam kefakiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’, dan Imam dalam sunah,” tutur Imam Syafi’i. Sebuah pengakuan yang tulus dari seorang guru kepada murid yang dibanggakannya.
Kekaguman serupa juga diungkapkan gurunya yang lain, Abdur Rozzaq Bin Hammam. “Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara’ Ahmad bin Hanbal,” ungkap Abdur Rozzaq. Ibrahim Al-Harbi pun berdecak kagum dengan sosok Ahmad bin Hanbal. “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu,” ungkapnya.
Ulama penting yang rendah hati itu bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu `Abdullah al-Shaybani. Ia terlahir di Merv, Asia Tengah (sekarang Turkmenistan), pada 20 Rabiul Awal tahun 164 H. Ada pula yang menyebut sang Imam lahir di Baghdad, Irak. Saat berada dalam kandungan sang bunda, Imam Ahmad bin Hanbal diajak ibunya hijrah ke metropolis intelektual dunia ketika itu, yakni Baghdad.
Sejak masih bayi, Imam Ahmad bin Hanbal sudah menjadi anak yatim. Ia dibesarkan oleh sang ibu seorang diri. Ia merupakan keturunan dari suku Shayban. Sejak belia, Imam Ahmad bin Hanbal berbeda dengan anak seusianya. Ia dikenal sebagai anak yang alim, bersih, dan senang menyendiri. Kecintaan dan rasa takut untuk berbuat dosa kepada Allah SWT telah terpatri dalam hati nurani Ahmad bin Hanbal sejak dini.
Syahdan, sang paman, suatu hari memintanya menjadi seorang informan untuk khalifah. Ia diminta untuk menyerahkan dokumen berisi informasi sejumlah orang untuk diserahkan ke kantor khalifah. Meski masih anak-anak, Ahmad bin Hanbal tahu apa yang dilakukannya adalah hal yang bertentangan dengan nurani. Suatu hari sang paman menanyakan dokumen itu.
“Aku tak akan menyerahkan dokumen itu dan aku telah membuangnya ke laut,” tutur Ahmad bin Hanbal. Sang paman pun dibuat takjub dengan sikap dan keberanian keponakannya itu. “Anak kecil ini ternyata sangat takut kepada Allah. Lalu, bagaimana dengan kita?” ucap sang paman dengan perasaan malu, karena anak kecil ternyata lebih takut kepada Sang Khalik, dibanding dirinya.
Fikih adalah ilmu agama pertama yang dipelajarinya secara khusus. Ia berguru pada Abu Yusuf–murid terkemuka sekaligus sahabat Abu Hanifah. Setelah mempelajari fikih, Ahmad bin Hanbal lalu menimba ilmu hadis. Ia melanglang buana dari satu negeri Islam ke negeri lainnya demi mendapatkan ilmu yang dicarinya. Petualangan menimba ilmu itu dilakukannya saat dia berusia 16 tahun.
Sebagai seorang murid yang cerdas dan baik, Ahmad bin Hanbal disayangi oleh semua gurunya. Ia pun selalu menaruh hormat kepada semua gurunya tanpa membeda-bedakan. Gurunya terbilang sangat banyak. Ibnu Al-Jawzi menuturkan, Imam Ahmad bin Hanbal memiliki 414 guru hadis.
Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.
Salah seorang guru yang paling dicintainya adalah Imam Syafi’i. Ia begitu bangga kepada kemampuan sang guru yang luar biasa dalam ilmu fikih. Setelah mencurahkan waktunya selama 40 tahun untuk menimba ilmu agama, Imam Ahmad bin Hanbal pun menjadi ulama yang berpengaruh. Ia menduduki jabatan penting dalam masyarakat Islam saat itu, yakni sebagai Mufti.
Kehebatan Imam Ahmad bin Hanbal dalam ilmu hadis sudah tak perlu diragukan. Ia adalah seorang ulama yang sangat ahli dalam ilmu yang satu ini. Kitab Al-Musnad Al-Kabir–ensiklopedia hadis–yang sangat monumental, ini memuat tak kurang dari 27 ribu hadis. Ini merupakan karya masterpiece sang Imam dan penelitian hadis yang dinilai terbaik.
Dalam bidang fikih, Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai pendiri Mazhab Hambali. Ia sungguh beruntung karena bisa belajar dari ahli fikih termasyhur yang juga dikenal sebagai pendiri tiga mazhab lainnya, seperti Abu Hanifah (Imam Hanafi), Imam Syafi’i, dan Imam Maliki. Imam Hambali telah melakukan improvisasi dan pengembangan dari mazhab-mazhab sebelumnya.
Sang Imam pun sangat ahli dalam urusan bahasa dan sastra. Ia sangat berjasa dalam pengembangan bahasa Arab. Ia tercatat sebagai ulama yang menekankan pentingnya penggunaan tata bahasa Arab secara tepat dan pelafalan kata-kata secara benar. Selain ahli dalam tata bahasa, Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal pandai merangkai kata menjadi syair dan puisi.
Pengetahuannya tentang ilmu Alquran juga sungguh luar biasa. Sebagai Imam dalam ilmu Alquran, Ahmad bin Hanbal sangat menguasai Tafsir Alquran. Ia pun ahli dalam ilmu Al-Nasikh wal Mansukh. Ia pun megembangkan gaya qiraat yang lain dari yang lain. Ia tak suka dengan gaya qiraat yang terlalu berlebihan memanjang-manjangkan bacaan hamzah. Ia juga dikenal sebagai Imam Ahlu Sunnah.
Keyakinannya kepada Allah SWT dan pemahamannya mengenai agama Islam sempat berlawanan dengan penguasa Abbasiyah saat itu, Khalifah Al-Ma’mun. Khalifah yang saat itu mulai gandrung pada filsafat pada tahun 212 H, mulai memaksakan pandangannya tentang Alquran. Menurut Al-Ma’mun, Alquran adalah makhluk.
Para ulama dipaksa untuk sepaham dengan pendapatnya. Imam Ahmad bin Hanbal pun dites oleh khalifah. Bersama sahabatnya, Muhammad ibnu Nuh, sang imam menolak untuk sepaham dengan penguasa. Menurutnya, Alquran adalah kalamullah bukanlah makhluk. Ia pun dipenjara akibat keteguhan keyakinannya.
Situasi berubah ketika Khalifah Al-Mutawakkil menghentikan perdebatan mengenai Alquran. Status sang Imam pun dipulihkan. Imam Ahmad bin Hanbal dikaruniai delapan anak. Ia sempat lima kali menunaikan ibadah haji ke Makkah, dua kali di antaranya ditempuh dengan berjalan kaki.
Setelah sembilan hari sakit, pada Jumat tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 241 H, di usianya yang ke-77, sang Imam tutup usia di Kota Baghdad, Irak. Jasa dan kontribusi sang Imam dalam mengembangkan ilmu agama hingga saat ini tetap dikenang sepanjang zaman. Ia adalah Imam yang layak ditiru dan diteladani setiap Muslim.